Minggu, 04 April 2010

Fenomena bencana alam di Indonesia


Fenomena Banjir

Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat
Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai.

Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang.

Penyebab banjir – Diantara beberapa penyebab banjir adalah:
1. Ilegal Loging (Penebangan hutan liar)
2. Bertumpuknya sampah pada saluran air, sehingga terjadi penyumbatan pada saluran air.
3. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan penanaman kembali pada daerah / hutan hutan yang baru di tebangi.
4. Tidak adanya lagi tanah resapan untuk digunakan air sebagai tempat baginya beristirahat dikala hujan turun. tidak ada lagi lahan hijau sebagai tempat resapan air tanah. akibatnya, ketika hujan tiba, tanah menjadi tergerus oleh air dan kemudian air terus meluncur tanpa adanya penghalang alami yang kemudian menyebabkan banjir. dan masih banyak lagi penyebab-penyebab banjir yang lainya.

Dalam siklus hidrologi dimana kondisi alam ideal, maka air hujan yang jatuh di daerah hulu sungai akan terjadi tiga hal yaitu:

  • air akan langsung mengalir di permukaan tanah dan masuk ke sungai,
  • air akan tertahan oleh tumbuhan lalu sebagian meresap kedalam tanah dan sebagian ada yang mengalir di permukaan dan ada yang menguap kembali
  • air yang meresap ke dalam tanah menjadi aliran air tanah.

Bagaimana jika kondisi alam menjadi tidak ideal, misalnya tumbuhan menjadi sedikit?

  1. Aliran permukaan akan menjadi lebih besar, mengakibatkan erosi tanah yang akan mengalir bersama-sama menuju sungai. Terjadilah pendangkalan sungai.
  2. Air yang meresap kedalam tanah semakin sedikit karena tak ada tumbuhan sebagai penahan air hujan dan tanah mengalami erosi. Maka persediaan air tanah semakin menipis.
  3. Apabila curah hujan sangat tinggi maka aliran permukaan bersama-sama sedimen akan mengalir deras menuju hilir sungai dan meluap di daerah sekitarnya. Terjadilah banjir.

Jadi secara garis besar salah satu penyebab terjadinya banjir di daerah dataran rendah baik itu perkotaan maupun dataran rendah lain adalah adanya penggundulan hutan di daerah hulu sungai. Penyebab lainnya adalah buruknya sistem drainase, berkurangnya daerah resapan air karena adanya permukiman dan lain-lainnya.


Fenomena Banjir di Perkotaan.

Pada realitanya ibukota negara (Jakarta) hampir selalu mengalami fenomena bencana banjir tiap tahunnya. Jakarta terendam banjir karena curah hujan yang tinggi ditambah dengan banjir kiriman dari kota Bogor. Memang tak hanya Jakarta yang mengalami kebanjiran. Hampir setengah pulau Sumatera dan pulau Jawa terendam oleh banjir. Banjirpun bisa ditetapkan sebagai bencana nasional. Kemarau berkepanjangan membuat awan hujan mengumpul dan bertumpah ruah pada bulan penghujan. Kota-kota besar di Jawa Barat yang terkena oleh banjir kiriman dari Bogor antara lain Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kota yang paling parah adalah Bekasi. Hampir 90% dari kota Bekasi terendam air. Hal ini juga menimpa saudara-saudara saya yang tinggal di Bekasi. Betapa mengenaskan melihat rumah-rumah terendam banjir setinggi lebih dari 1 meter.

Banyak masyarakat mengeluh dan menyalahkan kota Bogor atas kiriman banjir tersebut. Namun kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada kota Bogor. Banjir ini merupakan fenomena alam, hal itulah yang dikatakan oleh gubernur DKI Jakarta. Tapi menurut saya hal itu tidak sepenuhnya benar. Menurut argumentasi yang saya dengar, kebanyakan kota Bogor telah gundul akibat banyaknya pembangunan perumahan, real estate, lahan bisnis maupun perekonomian yang mengakibatkan semakin sedikitnya lahan untuk menadah air hujan. Kota Bogor merupakan kota Hujan, dimana frekuensi hujan disana amat tinggi sehingga sering terjadi banjir dan kota Bogor sendiri berada disekitar pegunungan sehingga sulitnya mendapatkan akses untuk mengeluarkan air bah tersebut dari kota Bogor. Alhasil, bendungan air di Bogor tak cukup kuat menampung air dan membuat air bah tersebut mengalir dalam kurun waktu tertentu ke kota-kota disekitarnya.

Solusi apa yang dapat dilakukan untuk penanganan masalah banjir di perkotaan??

Setiap kali bencana banjir menimpa kawasan yang menjadi langganan banjir, pihak pemerintah setempat tidak memiliki mekanisme jitu untuk dapat secara khusus menanggulangi banjir yang melanda daerah tersebut. Selain itu, baru pada saat air bah datang, semua pihak terpikir untuk menyiapkan upaya khusus untuk mengantisipasi masalah ini.

Padahal, bencana tak harus ditanggulangi saat dia datang. Musibah tersebut dapat diantisipasi dan dikelola secara baik, agar bencana itu tak terjadi. Kepekaan dan pendeteksian dini banjir seharusnya telah melekat dalam konsep penanggulangan bencana seperti banjir dan longsor di perkotaan. Setidaknya, bila tak mungkin sesegera mungkin kita menghilangkan penyebab utama banjir dan longsor itu, masyarakat memiliki bekal cukup untuk awas terhadap bencana dan segala dampak yang ditimbulkannya. Mereka perlu diberikan pengetahuan untuk menyiapkan sesuatu, setidaknya untuk mengurangi resiko yang lebih besar.

Mitigasi bencana merupakan salah satu kegiatan yang amat penting dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar dampak yang ditimbulkan dapat

dikurangi. Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana maupun yang berada

di luar sangat besar perannya, sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya,

kepeduliannya dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta

kedisiplinannya terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.

Sesungguhnya kita telah memiliki badan khusus untuk menanggulangi bencana. Kita juga memiliki aparat untuk mengelola hutan agar tak sebabkan erosi dan menggelontorkan lumpur ke pemukiman penduduk. Kita juga memiliki banyak aparat dan ahli-ahli yang mengelola sungai besar, sungai kecil dan penataan bendungan serta saluran irigasi. Tapi, kita tak punya kesiapan untuk benar-benar menggerakkan seluruh potensi dan aparat yang ada untuk menguliti masalah banjir dan longsor serta memiliki jawaban serta solusi tepat untuk kawasan yang rawan bencana alam tersebut.

Misalnya, sungguh-sungguh membenahi daerah aliran sungai dan jaringan irigasi serta mengelola dengan benar, penebangan hutan di perkotaan. Tak dapat dipungkiri bahwa banjir dan longsor yang kerap terjadi di daerah perkotaan, tak terlepas dari tangan-tangan manusia yang seenaknya merusak hutan. Kita sering kali menyepelekan masalah itu, sehingga berakibat fatal.

Kita tak tahu pasti, apakah moratorium logging itu kini masih efektif atau memang perlu dikaji lagi. Mungkin, untuk alasan agar dapat hutan dapat dikelola menjadi bagian peningkatan kesejahteraan rakyat, pilihan tersebut dapat pula menjadi pertimbangan. Tapi, mengaji soal jeda tebang itu, perlu pula pemikiran matang dan ditimbang secara seksama dari segala segi. Terutama, dijaga keras agar kita tak menafikan penghutanan kembali dan reboisasi dengan rencana lebih rapi dan melibatkan masyarakat.

Kepada pemerintah, baik tingkat pusat, kabupaten/kota dan provinsi, kita harapkan agar tak salah pula mengambil langkah kebijakan. Para pegiat organisasi masyarakat yang selama ini bekerja untuk pelestarian alam, serta masyarakat sekitar hutan, didengar pula pertimbangan mereka.

Lantas, bagaimana cara kita menyikapi bencana yang secara terus-menerus mendera negeri kita tercinta ini??

Selain Tuhan, semua yang sesuatu itu adalah mahluk. Bahwa karena bencana adalah mahluk Tuhan, sehingga amarah terhadap bencana indentik dengan menghindari kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Dalam pandangan sufistik, kehadiran musibah, penganiayaan atau kematian, justru disikapi dengan ungkapan alhamdulillah, dilanjutkan dengan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Memuji kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa DIAlah yang paling berhak atas semuanya ini. Segalanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Bersabar dan ikhlas menerima segala ketentuan Tuhan termasuk bencana, di sisi lain dianggap sebagai salah satu cara Tuhan meningkatkan dan mengangkat derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan. Olehnya, pada tataran tertentu bencana yang telah begitu seringkali menimpa bangsa ini, dengan korban jiwa dan material yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamanya harus diratapi apalagi menjadi manusia fatalistik, akan tetapi bencana pun mampu menjadi media untuk meningkatkan proses pengenalan dan kesepahaman kita dengan Tuhan.

Namun masalahnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana, tidak serta merta selesai dengan sikap mengembalikannya pada Tuhan. Erich From menyebut sikap seperti ini sebagai bentuk escape from freedom, lari dari kebebasan. Bukankah segala kerusakan di langit dan di bumi terjadi akibat kelalaian manusia itu sendiri? Sebuah refleksi cultural masa lalu, dimana Orang tua kita sering kali melarang dengan dogmatisasi ‘pamali’ melakukan aktivitas membawa dan mencuci peralatan dapur di sungai. Pesannya, bahwa “penjaga sungai akan marah bahkan bisa mencelakaimu”. Sepintas dengan nalar seorang anak yang masih kecil, mempercayainya dan ikut mewariskan pesan itu kepada generasinya. Hemat saya, ini merupakan cara moyang kita mengapresiasi dan menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh elemen yang berkepentingan pada sungai. Sisa makanan dan minuman yang melengket pada peralatan dapur dikhawatirkan dapat meracuni mahluk hidup di sungai dan akan mengotori kebersihan air sungai. Pesan tersebut seharusnya mensugesti cara pandang kita di masa kini, bahwa jika sisa makanan dan minuman saja tidak diperbolehkan mengotori sungai, seharusnya pembabatan hutan dan penumpukan sampah di hulu dan hilir tidak dilakukan. Karena secara perlahan tapi pasti dapat menimbulkan ketidak-seimbangan kehidupan manusia itu sendiri.

Sejarah perkembangan peradaban manusia pada mulanya memiliki sikap dan kepercayaan akan ketertundukan dan ketergantungannya pada alam. Para arkeolog dan filolog (peneliti teks-teks kuno) menunjukkan bahwa manusia sangat takut dan begitu memuliakan alam. Bahkan sebagian diantaranya rela dijadikan sebagai persembahan (dibunuh) dengan tujuan agar alam tidak ‘marah’ dan kehidupannya tetap bisa berjalan normal. Ritual ini dilakukan ketika terjadi bencana seperti gunung meletus, banjir, hasil tanamannya rusak dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan seperti ini disebut animisme atau dinamisme. Sebuah kepercayaan yang menjadikan unsur-unsur alam sebagai ‘Tuhan’. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban kita terjebak pada cara pandang yang materialis pragmatis. Kita justru ingin menaklukkan alam dan menjinakkan alam. Sehingga prilaku mengeksploitasi alam demi kepentingan dan keuntungan serta laju pembangunan cenderung merusak eksistensi alam yang seharusnya diposisikan sebagai mitra kemanusiaan yang berhak diperlakukan secara manusiawi.

Era yang biasa disebut era globalisasi ini, dimana alam semesta dipandang sebagai small village (kampung kecil), memang tidak lagi menjadikan alam sebagai ‘Tuhan’, tetapi secara radikal dijadikan sebagai ‘budak-budak’ pelayan hasrat manusia. Bencana sebagai salah satu elemen kehidupan di muka bumi adalah ‘bentuk protes dan rintihan alam’ kepada Tuhan, bahwa posisi manusia sebagai khalifah telah terdistorsi. Sehingga banjir bandang, tsunami, kebakaran, longsor beserta segala bentuk bencana kemanusiaan, adalah cara Tuhan memediasi ekspresi alam guna menyapa kelalaian manusia pada tugas dan fungsinya sebagai khalifah, sebagai agen of universe (agen alam semesta).


Manusia sebagai agen of universe adalah sebuah paradigma terhadap alam beserta seluruh mahluk, baik yang nampak maupun yang tidak, sebagai sesuatu yang interdependensi (saling ketergantungan), memiliki nilai dan manfaat bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Manusia sebagai ciptaan adalah mahluk yang paling mulia diantara semua ciptaan Tuhan. Amanah yang diembannya sangat besar dalam memelihara harmonisasi alam semesta. Dimana paradigma ini secara ontologis melampaui eksistensi manusia sebagai agen of social (agen masyarakat). Karena pengabdiannya terbatas hanya pada ranah social kemasyarakatan. Sedangkan manusia sebagai agen alam semesta dituntut memadukan aspek kasih sayang Tuhan dengan statusnya sebagai khalifah dalam mengabdi pada segala ciptaan, mengabdi untuk semua..


Untuk itu, hemat saya, bahwa setiap cara kita menyikapi bencana, tidaklah cukup hanya melakukan rehabilitasi pisik prasarana maupun rehabilitasi sosial psikologis. Karena yang juga tak kalah pentingnya adalah melakukan rehabilitasi paradigma terhadap keberadaan bencana dengan segala yang ditimbulkannya. Paradigma manusia sebagai agen of universe merupakan penjabaran perilaku kemanusiaan, baik agamawan, pejabat publik, politisi, pengusaha, aktivis pemuda dan mahasiswa maupun elemen masyarakat lainnya untuk berperan dengan posisi yang berbeda demi kemaslahatan dan kebajikan ber-sesama. Kemaslahatan dan kebajikan yang tidak bias dalam dikotomi kepentingan mereka dan kami. Namun diikat oleh spiritualitas kebersamaan selaku sesama mahluk Tuhan di muka bumi.


Bencana memang sesuatu yang niscaya bagi alur sejarah kehidupan manusia. Sebagaimana niscayanya Kemurahan Tuhan yang melimpahkan ilmu-Nya kepada manusia untuk melahirkan rumusan strategis menyangkut penanggulangan bencana. Sehingga kehadiran bencana dibumi ini telah menggugat kekhalifaan umat manusia. Jika memang demikian, lalu mengapa yang kecil dan yang lemah pun harus ikut menjadi korban? Wallahu a’lam.


Assalamualaikum Wr.Wb...Welcome to My Zone^^