Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok, Sebenarnya Salah Siapa?
Belakangan ini, berbagai harga kebutuhan pokok terus saja melejit jauh di atas harga normal. Hampir rata-rata kebutuhan harga bahan pokok mengalami kenaikan yang cukup tajam. Dengan kondisi tersebut maka dapat dipastikan bahwa rakyat akan menghadapi kesulitan yang teramat dahsyat dalam menjalani hidup, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jangankan dengan kenaikan harga, pada saat situasi harga dalam keadaan normal saja, tingkat kehidupan rakyat banyak yang tertatih-tatih. Konon lagi dengan melonjaknya harga kebutuhan hidup yang sangat membebani masyarakat.
Kenaikan harga ini hampir terjadi di semua daerah di tanah air. Jumlah permintaan yang tinggi tidak diimbangi oleh persediaan yang memadai, akibatnya mau tidak mau harga melonjak tinggi, bahkan kalangan masyarakat menyebut sudah ganti harga. Salah satu jenis bahan kebutuhan yang mengalami kenaikan paling signifikan adalah cabai. Mengingat semua orang membutuhkan cabai, tidak mengherankan jika semua kalangan terkena imbas ‘pedasnya’ harga cabai belakangan ini. Tak sedikit kalangan masyarakat yang rela makanannya tidak pedas karena faktor harga cabai yang tinggi. Parahnya lagi, kenaikan harga cabai juga memiliki efek domino yang buruk yaitu memicu kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Kalangan penyedia dan pengamat di berbagai kota umumnya menyebut situasi ini terjadi karena beberapa faktor, terutama perubahan musim yang ekstrem belakangan ini. Lantaran hujan nyaris turun sepanjang tahun, banyak tanaman cabai gagal panen atau membusuk. Bencana Gunung Merapi meletus juga disebut-sebut menjadi penyebab langkanya cabai, karena banyak cabai dan jenis sayuran lain yang tidak bisa dipanen. Apalagi selain cabai, sejumlah harga sayuran yang lain juga ikut terkerek naik. Sayangnya, meski harga sayuran terutama cabai melonjak, tidak semua petani cabai menikmati kenaikan harga ini.
Di sejumlah daerah sentra pertanian cabai ditemukan fakta bahwa harga cabai dari petani relatif masih wajar. Tidak ada yang tahu hingga kapan ketidaknyamanan ini akan berlangsung. Sulit diprediksi karena pemerintah sebagai regulator belum atau sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk mereduksi ketidaknyamanan saat ini. Sebaliknya, masyarakat terus menjerit, tak henti menyuarakan ketidakberdayaan menghadapi lonjakan harga aneka komoditas kebutuhan pokok saat ini. Harga kebutuhan pokok sekarang benar-benar sudah di luar batas kewajaran. Karena tidak wajar itulah, pemerintah dalam hal ini sebagai regulator mestinya segera turun tangan membenahi keadaan agar segala sesuatunya menjadi wajar kembali. Namun, hingga pekan ini, kita diberi kesan bahwa di pasar kebutuhan pokok rakyat di dalam negeri kita sendiri tidak ada regulator. Kalaupun regulator itu masih ada, fungsi dan perannya sangat minim, kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali..
Ketika harga beras mulai merangkak naik awal November 2010, pemerintah sebagai regulator melancarkan operasi pasar (OP) beras menjelang Desember tahun lalu, Sayang, pelaksanaan OP yang serba tanggung itu gagal menstimulasi penurunan harga beras. Bahkan ada indikasi OP raskin (beras untuk warga miskin) diselewengkan. Lalu, satu hari menjelang tutup tahun 2010, tepatnya 30 Desember tahun lalu, Presiden memimpin rapat kabinet terbatas bidang ekonomi di Istana Bogor. Kita sempat berharap pemerintah akan melakukan aksi tertentu untuk bisa mengoreksi harga komoditas pangan yang sudah begitu tinggi.
Ternyata, tidak. Rapat akhir tahun itu hanya menggagas rencana pemerintah menyiapkan dua instruksi presiden (inpres) untuk menjamin ketahanan pangan. Inpres pertama, misalnya, hanya fokus mengatur tugas Menteri Pertanian, antara lain memberi fleksibilitas merespons perubahan iklim yang ekstrem dengan pengaruh kepada berubahnya musim tanam, serangan hama atau kerusakan lahan pertanian. Inpres ini juga memberi Menteri Pertanian wewenang menerbitkan kebijakan, seperti pembagian benih lebih awal atau memiliki dana cadangan. Diharapkan Menteri Pertanian bisa mengantisipasi perubahan produksi pertanian akibat gangguan cuaca dengan cara mekanisme lain. Sedangkan fokus Inpres kedua pada fungsi Bulog, yakni memberi fleksibilitas kepada perum ini untuk memasok dan membeli beras petani (ini tidak hanya berlaku untuk beras dengan kualitas tertentu). Dengan inpres itu, Bulog memiliki fleksibilitas membeli beras dengan harga komersial. Selain itu, bisa melepas beras kualitas premium. Hanya seperti itulah respons pemerintah terhadap lonjakan ekstrem harga bahan pangan yang mulai terjadi sejak November 2010. Respons seperti itu sama sekali tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.
Bahkan, harga cabai di daerah tertentu sudah mendekati Rp 100.000 per kilogram. Lonjakan harga itu membuat daya konsumsi masyarakat menurun. Jutaan keluarga harus menurunkan volume asupan gizi mereka. Jutaan anak bahkan mungkin terancam kekurangan gizi. Sikap pemerintah justru mengecewakan. Ketika masyarakat tersengal-sengal oleh ketidaknyamanan saat ini, pemerintah malah memuji dirinya sendiri dengan mengklaim perekonomian 2010 tumbuh meyakinkan.
Ada menteri yang mengelabui rakyat dengan sesumbar bahwa Indonesia termasuk satu dari 18 kekuatan ekonomi dunia. Memangnya klaim dan sesumbar itu bisa mengoreksi harga beras, minyak goreng, dan cabai? Kita harus sepakat dengan pernyataan seorang anggota DPR yang menilai klaim dan sesumbar itu sebagai sikap lari dari tanggung jawab. Akhirnya, kita harus mengemukakan penilaian bahwa pemerintah nyatanya tidak terlalu berempati atau peduli pada penderitaan rakyat saat ini.
Jika memang peduli, seharusnya pemerintah tidak boleh terlalu lama bersikap pasif melihat keadaan ini. Pemerintah harus bersikap responsif dan aktif, misalnya dengan memotong jalur distribusi cabai, untuk menekan agar harga kembali turun. Sikap pasif dan hanya menyerahkan perkembangan situasi pada mekanisme pasar akan semakin menguntungkan para spekulan dan pemain besar perdagangan cabai.? Pemerintah harus mempelajari situasi ini agar dampak buruk perubahan iklim bisa dikurangi.
Pemerintah wajib memberikan arahan bagaimana beradaptasi di sektor pertanian dan perkebunan, serta mengatur lebih adil jalannya tata niaga sayuran. Sekali lagi pemerintah harus mengambil pelajaran dari situasi ini, karena harus diakui, pemerintah kurang mempunyai pengalaman mengelola distribusi sayuran sehingga para pebisnis besar lebih mudah mengeruk keuntungan. Namun demikian, hal itu tidaklah layak dijadikan alasan. Kalau memang serius hendak memperhatikan dan mengurangi beban rakyat, maka segeralah mengambil tindakan. Kondisi kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok tidak akan mungkin terjadi bila pemerintah bekerja dengan baik memperhatikan kepentingan rakyat.