URBANISASI tanpa URBANISME
Setiap kali memperhatikan arus balik lebaran, setiap kali pula muncul pertanyaan, adakah peningkatan mutu kehidupan di kota-kota besar di tanah air tercinta ini? Puluhan wali kota sudah berganti dengan janji-janji untuk memperhatikan kotanya. Namun, keadaan kota-kota besar ditanah air ini malah kian mundur. Indikatornya sederhana saja, yakni hidup di kota besar (kalau mau jujur) makin tidak nyaman, angka kriminalitas meningkat, areal banjir meluas, polusi juga meningkat dan berbagai kesulitan hidup lain.
Jawaban atas pertanyaan tersebut barangkali bisa dilacak dari sejarah pertumbuhan kota. Urbanisasi di negeri ini bisa digambarkan sebagai urban involution. Kata involution kontras dengan evolution, yang menampakkan sebuah proses dengan struktur, pola dan bentuk untuk menjadi rumit, berbelit, kompleks tanpa menapaki tangga baru sebuah evolusi (Evers, 2008). Seperti Clifford Geertz yang memperkenalkan involusi, kemandekan dan keterbelakangan beberapa kota disebabkan tumbuhnya sektor informal yang lebih cepat daripada sektor industry. Dengan kata lain, urbanisasi lebih digerakkan pesatnya pertumbuhan sektor informal.
Dari fenomena itu, muncul realitas pembagian kemiskinan (shared poverty) di kota-kota besar. Kota di Indonesia ini dibangun sebagai imagined community bagi bangsa dengan berbagai symbol virtual. Virtual urbanism menjadi sesuatu hal esensial dan mengabaikan kenyataan adanya perluasan urban sprawl dengan ikutannya seperti daerah rural-urban dan kampung-kampung kumuh.
Kota-kota di tanah air sedang berproses dalam sebuah involusi untuk menuju true urban revolution (pinjam istilah Evers, 2008). Pasar terbuka lebar, investasi deras masuk dan mengubah tataruang kota dengan kehadiran mal, shopping centre, central business distric, jaringan ICT (information, communication and technology) dan berbagai infrastruktur lain. Warga kota kini terlibat dengan pola konsumsi global. Meski demikian, proses ke arah the real urban masih panjang, kerena di Indonesia lebih banyak kota-desa (urban-village) dari pada city.
Dari gambaran tersebut, dapat pula dimengerti mengapa kota-kota kita tidak memiliki basis urbanisme yang kuat karena dalam sejarahnya negeri ini mengenal konsep ‘kota’ sampai dengan kedatangan Belanda. Itu berbeda dengan Tiongkok, Jepang, Vietnam, Thailand, dan sebagainya yang memiliki tradisi kuat pusat-pusat urbanisme. Di Indonesia, kejayaan Majapahit, Mataram, Sriwijaya dan sebagainya tidak dikelilingi atribut urbanisme. Kalau Beijing ada tembok besar dan infrastruktur jalan, saluran dan sebagainya, di sekitar keraton di Indonesia hanya ada petani, pelayan dan perajin. Infrastruktur kota-kota di Indonesia dibangun Belanda.
Sejak terbentuknya kota, tampak didominasi kekuasaan otoriter yang berorientasi pada sistem nilai yang bersifat sakral dan berakar pada tradisi lokal. Sejarah kota-kota di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat kota tradisional prakolonial bukanlah sebuah komunitas urban yang utuh, namun merupakan ‘kerajaan kota’ atau ‘negara kota’ dengan struktur sosial politis bersifat feudal-agraris yang kental. Kekuatan itu kemudian membentuk parasiter dengan membuat aliansi bersama kelompok-kelompok produktif seperti pengusaha, pemilik tanah, pemilik kapal, pedagang dan sebagainya dalam usaha mempertahankan dominasinya.
Aliansi semacam ini sangat longgar karena setiap kelompok memiliki hak otonomi atas sebagian lahan kota. Teritorial ekonomi itulah yang disebut kampung. Warisan tradisional tersebut hadir dengan kental dalam kehidupan kota sampai saat ini. Dari titik itulah dapat dipahami bahwa kota besar tidak mengenal istilah ruang publik atau public space. Sebab, setiap ruang yang ada selalu diperebutkan antar kelompok dan dalam hal ini usaha pemerintah kota yang selalu netral akan sia-sia. Penyebabnya sederhana saja, disetiap ruang harus ada penguasanya dan setiap individu atau kelompok berusaha menguasai ruang seluas-luasnya.
Pada konsep tradisional, tempat-tempat umum seperti pasar, pelabuhan dan sebagainya tidak sepenuhnya terbuka karena penguasa kota menyerahkannya kepada seorang tanpa peraturan yang terlalu jelas. Demikian pula saat ini, perparkiran atau terminal diserahkan kepada seseorang yang memiliki hubungan dengan penguasa kota dan merupakan ‘tentara pribadi’. Hal ini sering disebut dengan istilah premanisme.
Dari sketsa ringkas diatas, tampak bahwa ada semacam urbanisasi tanpa urbanisme di kota-kota besar di tanah air kita. Indicator istilah tersebut adalah adanya kemandekan struktur ketenagakerjaan penduduk kota dengan sektor pelayanan, usaha kecil dan jasa masih mendominasi. Akibatnya, sebagaimana dikatakan oleh Jones (dalam Evers, 2008), ‘No, real urban proletariat’ di kota.
Kini kota-kota besar di tanah air merupakan bagian depan dari imperium kolonial baru dan imperium perdagangan. Menurut Castell dan Harvey dalam Gilbert dan Gugler (1996), daerah perkotaan hanya bisa dipahami dari segi konflik kelas yang merupakan akibat langsung beroperasinya cara produksi kapitalis.
Bentuk perkotaan, persoalan perkotaan, sistem pemerintahan dan ideologi pemerintahan kota hanya bisa dipahami dalam konteks dinamika sistem kapitalis. Ruang ditentukan secara sosial: hasil konflik antara kelas sosial yang berbeda. Masalah perkotaan muncul tidak sekadar kesalahan manajemen, namun kerena adanya kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok kelas sosial tertentu yang diuntungkan permasalahan tersebut.
Karena itu, meski lebaran dan arus balik terus bertambah, persoalan kota-kota besar di tanah air kita tak pernah terselesaikan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar